“Bukan soal siapa yang paling benar, tetapi bagaimana kita mampu menerima setiap perbedaan“
Kalau boleh rada lebay, perang antar ibu adalah jenis perang yang paling menyeramkan. Bikin ngeri! Baik yang terang-terangan maupun yang diam-diam tertutup oleh senyuman. Dari senyum sinis sampai senyum pahit. Pokoknya bikin hidup tidak tenang cenderung kurang produktif deh. Kok? Lha iya, bukannya fokus dan percaya diri mengasuh anak, malah jadi rempong saling serang. Waduh. Kontraproduktif!
Ajaibnya, mom war terjadi hampir selalu di tiap era. Bagai obor abadi. Sebelum zaman digital menggila, perang antar ibu berkisar di isu ibu rumah tangga versus ibu bekerja di luar rumah, ASI versus Susu Formula, hingga pro kontra imunisasi. Lalu era digital datang menjelang. Bukannya surut, mom war justru menemukan lahan baru untuk dirambah. Topiknya juga nambah! Mulai dari pro kontra pemakaian gawai pada anak sampai perihal gaya hidup dan printilan pengasuhan anak di era digital.
Keberadaan media sosial yang makin memudahkan para ibu untuk saling terhubung malah menambah luas lahan perang. Mom war pun merambah kavling di dunia maya. Apalagi kalau bukan karena literasi digital yang masih minim di kalangan ibu?....
Baiklah, kondisinya memang seperti itu. Mau bilang apa lagi? …..
Bergerak dari kondisi tersebut, Penerbit Diva Press dan Komunitas Kumpulan Emak Blogger (KEB) menggagas sebuah lomba menulis dengan tema Stop Mom War bagi para emak blogger pada pertengahan tahun 2018 lalu. Dari ratusan peserta yang berpartisipasi, Dewan Juri memilih sepuluh tulisan terbaik untuk diterbitkan dalam bentuk buku. Lahirlah buku antologi Stop Mom War.
10 tulisan dalam buku antologi Stop Mom War ini memuat pengalaman pribadi para penulisnya baik sebagai aktor maupun korban mom war. Selain memuat pengalaman, mereka juga sumbang saran seputar tips produktif untuk menghadapi mom war ala mereka masing-masing. Saya adalah salah satu dari sepuluh penulis di buku Stop Mom War.
Inilah kesepuluh tulisan yang dapat dinikmati dalam buku Stop Mom War:
1. My Best Friend is A Working Mom (Ajeng Pujianti Lestari)
2. It Takes a Village to Raise A Mother ( Athiah Listyowati)
3. Terjebak Mom War Berarti Tidak Bahagia (Dian Farida Ismyama)
4. Berada di Antara Dua Kubu Berbeda (Finna Kiyana)
5. Kala Para Pejuang Suka Berperang (Gisantia Bestari)
6. Ketika Postpartum Depression Melenyapkan Mom War dalam Diriku (Latifika Sumanti)
7. Ibu Pembelajar Menjawab Tantangan Zaman (Novi Ardiani)
8. Stop Bermusuhan dengan Gawai (Ruth Ninajanty)
9. Jadikan Media Sosial sebagai Penambah Wawasan Positif bagi Perempuan (Sri Mulyani)
10. Mengubah dengan Cinta (Virgorini Dwi Fatayati)
Kesepuluh tulisan ini memberikan inspirasi bagi pembaca, tentang bagaimana setiap pribadi sebagai seorang ibu memiliki perbedaan dan berproses dalam menerima perbedaan. Merasa benar, adalah jebakan penglihatan terhadap perbedaan di luar sana. Merasa paling benar, adalah sumbu utama pembakar mom war. Bukan soal siapa yang paling benar, tetapi bagaimana kita mampu menerima setiap perbedaan.
Masing-masing penulis di buku Stop Mom War menggunakan gaya menulisnya masing-masing. Ada gaya kocak menyindir, sampai yang serius. Tapi nafasnya sama, bahwa mom war itu kontraproduktif! Mom war adalah cerminan rasa tidak percaya diri ibu dan bukti mereka tak mampu menerima perbedaan dengan hati legowo.
Saya sendiri mengulas tentang ide ibu pembelajar untuk menjawab tantangan zaman di dalam buku ini. Stop mom war, jadilah ibu pembelajar. Idenya berawal dari kisah nyata diri sendiri dalam mengasuh anak yang alergi. Sebagai korban mom war, saya menawarkan lima tips untuk mengakhiri semua peperangan sesama perempuan. Kelima tips itu adalah :
1. Temukan passion
Perempuan yang memahami di mana passionnya, akan memiliki semangat tinggi dan terjaga untuk melakukan sesuatu dengan senang hati dan gembira.
2. Belajar, bekerja, dan berkarya sesuai passion
Jika sudah ketemu passion, lakukan trilogi belajar, bekerja, dan berkarya. Nyalakan terus gairah sehingga bisa produktif dan bermanfaat.
3. Terus belajar hal baru, tularkan pada anak-anak
Jangan berhenti di satu titik karena merasa puas. Stay foolish and hungry. Terus belajar mengikuti dinamika zaman dan tularkan pada anak sebagai bekal survival hidup.
4. Bergabung dengan komunitas dan berkolaborasilah
Jangan menyendiri, bergabunglah dengan komunitas sesuai passion. Atur skala prioritas dan hasilkan sesuatu yang baru dan bermanfaat dengan cara bekerjasama.
5. Sibukkan diri dengan terus belajar dan memperbaiki diri.
Cukupkan ketidaksukaan pada perbedaan hanya sampai di jalur berpikir otak. Tidak perlu diterjemahkan jadi perang. Jadikan itu bahan pemikiran untuk menyibukkan diri dalam proses pembelajaran. Sibukkan diri dengan usaha memperbaiki diri sendiri dan hasilnya akan kembali pada diri kita sendiri.
Mempelajari hal-hal baru yang bermanfaat dan sibuk memperbaiki diri sudah cukup menyita waktu agar setiap perempuan tidak sempat lagi berperang kata dengan sesamanya. Itulah yang menjadi mantra bagi saya setiap saat. Mendengungkan mantra itu membuat saya selalu akhirnya tidak membalas setiap ajakan perang. Justru saya mengalihkan diri dengan sibuk belajar apa saja yang menurut saya perlu untuk survive sebagai ibu. Semua jadi lebih mudah setelah menemukan passion.
Kisah lain dalam buku ini yang bisa jadi inspirasi antara lain dituliskan Ajeng Pujianti Lestari. Cerita Ajeng tentang sahabatnya -seorang ibu pekerja berhati mulia- meluluhkan persepsi tentang ibu kantoran yang nampak kejam karena tega meninggalkan anak untuk bekerja.
Kejam itu adalah penghakiman sepihak. Tapi lain cerita jika hubungan yang terjalin dekat menunjukkan kemuliaan murni sebagai manusia, tanpa embel-embel apakah dia seorang ibu yang bekerja di luar rumah atau tinggal di rumah sepanjang hari. Ajeng menceritakannya dengan gaya bercerita polos yang agak lucu namun menyentuh hati.
Kejam itu adalah penghakiman sepihak. Tapi lain cerita jika hubungan yang terjalin dekat menunjukkan kemuliaan murni sebagai manusia, tanpa embel-embel apakah dia seorang ibu yang bekerja di luar rumah atau tinggal di rumah sepanjang hari. Ajeng menceritakannya dengan gaya bercerita polos yang agak lucu namun menyentuh hati.
Pada akhirnya, kita semua kaum ibu tetap adalah perempuan. Perempuan yang perasaannya lembut dan mudah tergores. Perempuan yang emosinya lebih dulu terungkapkan daripada logikanya. Sesama perempuan kita harusnya bisa saling memahami.
Perbedaan bukanlah bahan bakar untuk menyulut api peperangan. Tetapi perbedaan adalah sebuah karunia yang apabila dikelola dan dikolaborasikan akan menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Kenapa tidak?.... Yuk kita jadi Ibu Pembelajar yang saling berkolaborasi untuk menjawab semua tantangan zaman nan terbentang panjang di hadapan. Stop Mom War! (Opi)
Perbedaan bukanlah bahan bakar untuk menyulut api peperangan. Tetapi perbedaan adalah sebuah karunia yang apabila dikelola dan dikolaborasikan akan menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Kenapa tidak?.... Yuk kita jadi Ibu Pembelajar yang saling berkolaborasi untuk menjawab semua tantangan zaman nan terbentang panjang di hadapan. Stop Mom War! (Opi)
Informasi Buku :
Judul Buku : Stop Mom War
Penulis : Kumpulan Emak Blogger
Editor : Mika Ayunda
Cetakan Pertama 2018
Penerbit Laksana, Diva Press Yogyakarta
Tebal 204 halaman , Dimensi buku 14 x 20 x 1 cm
Harga wilayah Pulau Jawa Rp 65.000,-
Genre Parenting dan Family
** Pembaca dapat membeli buku Stop Mom War di toko buku mayor di kota-kota besar, Gramedia online, atau langsung ke Penerbit Diva Press. Dapat juga menghubungi saya via email ya.
Behind The Scene
Kenapa Saya baca buku ini? Jelas karena saya termasuk dari salah satu penulis dalam buku antologi ini. Masak ngga baca buku sendiri ya, kebangetan dong. Cuma, memang saya tidak perlu membeli karena mendapatkan bukti terbit dari Penerbit.
Saya tidak pernah berharap tulisan yang diikutkan ke lomba menulis ini akan masuk ke dalam pilihan 10 tulisan terbaik untuk dibukukan. Seperti biasa, kalau sudah ikut lomba saya lupakan saja. Menulis, kirim, lalu lupakan. Ternyata dinilai termasuk tulisan terbaik, tentunya senang.
Saya ingin tulisan dalam buku ini dibaca banyak orang, supaya manfaatnya juga bisa dirasakan perempuan di mana saja. Makanya beberapa kali saya “mengiklankannya” di media sosial pribadi. Dan, tidak lupa menulis ulasannya di blog saya sendiri ini. Buku karya orang lain saja saya tulis reviewnya, buku tulisan sendiri masa ngga sih… he he he….. Hitung-hitung latihan nulis dan berbagi wawasan. Semoga manfaatnya mengalir sepanjang waktu…. Aamiin.
wah belum baca nih, iya sekaarng mom suak war gak jeals, berdebat saja gak ada ujungnya
BalasHapusBaru baca setengah buku ini, tapi suka sama cerita-cerita di buku, serasa melihat diri sendiri :)
BalasHapusKeren mbak.. Salut dengan semua orang yang bisa mewujudkan pikiran nya ke sebuah buku
BalasHapusDont stop ya learning yaa buu. Mau baca ini persiapan saya untuk kelak jadi ibu :)
BalasHapusYa Allah terharu baca reviewnya mbak opi. Aku lagi enggak produktif banget 3 minggu ini karena ditinggal ART. Boro2 nulis, buat nafas aja enggak ada, buakakakakakaka!
BalasHapusSo sweet reviewmu mbak. Semangattt
Sebagai mom yg pernah mengalami jaman nggak ada medsos (berarti udah tuwa dong? wkwkwk), kerasa banget atmosfir judgmentalnya jaman sekarang. Semoga makin baiknya sarana komunikasi dijadikan utk saling mendukung ya. Sebagian moms yg nulis udah kenal & mereka memang moms yg hebat. Selamat.
BalasHapusSelamat, ya, Mbak Opi. Buku semacam ini penting unbtruk menambah wawasan para ibu. Yah, mestinya para ibu pun menambah wawasan dengan literasi agar tak terjebak mom war. Pikiran yang terbuka berkat banyak baca niscaya menenangkan mereka bahwa dunia tak melulu sesuai perspektif satu arah saja. Tabik.
BalasHapusSayang saya tak ikutan, he he. Sudah menulis namun malah tak pede. Bingung harus bagaimana, sih.
assalamu alaikum salam kenal kak, masya Allah
BalasHapus