LUNGSUR

Onggokan pakaian seperti memutar film masa lalu.  Setumpuk pakaian yang biasa dikenakan semasa masih bertugas sebagai jurnalis cetak, nyaris 20 tahun yang lalu, menyisipkan beberapa jilid pilu.  

Pilu jilid kesatu, sadar saya bertubuh begitu lurus dan kurus di masa lalu. Saat menimbang badan, jarumnya akan berdiam di angka 43 kg. Kalaupun banyak makan, tak pernah lebih dari 45 kg.  Sekarang?  Jangan ditanya.   

Pilu jilid kedua, tumpukan pakaian yang masih baik kondisinya itu kini sudah muat dikenakan putri bungsu saya.  Ia beranjak remaja, dan tubuhnya meninggi seperti ibunya. Dengan suka cita disambutnya lungsuran pakaian ibu untuk dipadupadankan. 

Pilu jilid ketiga, sadar bahwa saya sudah semakin tua. Baiklah, walaupun tua tidak boleh menjadi penyebab surutnya semangat, tapi sangat baik dijadikan pengingat.  Harus banyak istirahat.  Supaya biar tua badan tetap sehat.

“Bu, celana yang ini bisa dipakai ke mall,” kata si bungsu sambil mencoba celana panjang hitam yang pipanya agak lebar di tumit.  Itu termasuk pakaian bersejarah yang dulu kerap saya pakai pergi liputan. Sampai ke United Kingdom malah.  Menelusuri Kota London dengan sejuta pesonanya.  

Celana panjang hitam berpipa lebar di bagian bawah adalah yang paling aman dikenakan dengan blus warna dan model apapun.  Bisa dipakai untuk kesempatan apapun.

“Iya, itu cocok banget Dek.  Atasnya bisa pakai kaos bisa pakai kemeja bisa pakai blus muslimah.  Siip laah,” timpalku sambil mengamati. Tersenyum dalam haru.  Duh, cah wedhok, sudah gadis kau nak.  

Adek tersenyum. Mematut-matut diri di depan cermin.  Saya membungkuk memastikan keliman dan jahitan di bagian bawah celana masih bagus.  Memang masih bagus. 

Terkenang masa silam.  Walau dulu gaji tak terlalu tinggi, tapi saya suka membeli pakaian berkualitas. Puas. Jahitannya harus yang kuat, bahannya yang bagus bukan kaleng-kaleng. Bukan pula jenis kain yang mudah pudar warnanya.  Cara saya memilih pakaian kerja sangat terpengaruh didikan ibu.  

Ibu saya penjahit handal.  Ia menjahit pakaian istri-istri pejabat di kantor bapak (almarhum).  Bahkan, sampai mereka pindah ke luar negeri, ada anaknya pelanggan yang masih tetap setia menjahitkan pakaiannya pada ibu saya.  Bangganya saya, pakaian jahitan ibu sudah terbang naik pesawat sampai ke Jepang lho.  

Selain memilih untuk membeli pakaian yang berkualitas, saya juga diajari ibu cara merawat pakaian yang benar.  Yang putih harus dipisah dengan yang berwarna.  Pakai sabun dan pemutih dengan seksama.  Membilas dengan bersih. Tidak diperas sembarangan.  Derajat kepanasan setrika harus disesuaikan dengan jenis bahannya.  

Jelas teringat dulu, saat saya masih di bangku Sekolah Dasar, selain menjahit ibu juga menerima cuci setrika pakaian keluarga bos-bos atasan bapak di kantor. Semacam laundry VIP nih.  Saya dan adik serta kakak bergantian membantu ibu sepulang sekolah. Kami terdidik dengan baik soal merawat pakaian.

Soal pakaian dan barang-barang, keluarga kami menganut budaya lungsur.  

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lungsur artinya meluncur turun.  Lungsur sudah termasuk kata baku.  

Dalam konteks ini, lungsur adalah mewariskan atau menurunkan pakaian yang sudah tidak dipakai lagi oleh empunya (misalnya karena sudah tidak muat) namun masih dalam kondisi baik, kepada adik, anak, atau saudara.  

Saya terbiasa mendapat lungsuran pakaian dari kakak perempuan dan sepupu perempuan yang sudah bekerja dan jauh lebih tua.  Bagi keluarga kami, mengenakan pakaian lungsur merupakan bentuk penghematan dan rasa saling menyayangi.  

Dengan lungsur, uang untuk membeli pakaian bisa dihemat untuk kebutuhan lainnya, seperti membeli buku dan ditabung untuk biaya pendidikan.  Maklumlah, sumber penghasilan bapak sebagai buruh negara kala itu harus cukup untuk membiayai satu istri dan empat anak.  

Dengan lungsur, kami punya tanggung jawab yang sama untuk merawat pakaian agar tetap awet dan bisa diturunkan ke adik. 

Karena teringat budaya lungsur itulah, saya masih menyimpan beberapa pakaian layak semasa lajang untuk diwariskan kelak jika punya anak perempuan.  Ndilalah, Tuhan mengabulkan doa saya untuk punya anak perempuan.  Dan sekarang, lungsur itu terjadi.  Dari pakaian saya kepada putri bungsu saya. 

“Ibu, yang ini Adek suka banget,” kata anak gadis saya saat saya tunjukkan beberapa celana panjang lagi. Dicobanya satu persatu, dan semuanya muat. 

“Iya, ibu ngga sangka sudah muat.  Kaki adek ternyata panjang dan cepet banget manjangnya.  Ini karena semua sudah muat sama Adek, ibu lungsur ke Adek ya” kata saya.  

Anak gadis tersenyum. ”Terima kasih, Ibu,” katanya.  

Terjadilah lungsur.  Berbarengan dengan beberapa jilid syukur.  Jilid pertama, syukur karena budaya hemat keluarga masih bisa saya terapkan. Saya senang, anak juga senang.   Jilid kedua, syukur karena lungsur yang ini sangat bersejarah sebagai tonggak pengingat.  Bahwa anak bungsu sudah remaja dengan badan menjulang.  

Artinya, bukan hanya lungsuran pakaian yang akan saya berikan padanya.  Tapi lungsuran lainnya seperti menurunkan pemikiran-pemikiran dan nilai-nilai yang sudah waktunya ia pelajari sebagai perempuan yang beranjak dewasa. 

Tenang nak, ibu akan menurunkan cara berpikir dan nilai-nilai yang relevan dengan cara yang kamu suka. 

“Sekarang, ini pakaiannya pindah ke lemari Adek ya.  Hayuk dirapikan,” tukas saya.

“Oke bu, setelah itu kita main boneka barbie ya,” jawab Adek. 

Saya mengangguk sambil merekahkan senyum. Main barbie adalah cara yang kita suka untuk saling bercerita dan bertukar pikiran.  Lain waktu, saya cerita tentang boneka barbie ya…..  

Kalau kamu, menjalankan budaya lungsur juga?....  Biasanya, selain pakaian, barang apa lagi yang dilungsurkan?  Cerita di kolom komentar ya…. (Opi)