Kodrat perempuan itu ada ada empat : (1) menstruasi, (2) mengandung, (3) melahirkan dan (4) menyusui. Menjalani kodrat sebagai perempuan, memang membuat kita jadi berbeda dengan para laki-laki.
Menjalani masa menyusui telah menjadi salah satu masa terindah dalam hidup saya. Walaupun sudah berlalu lebih dari 7 tahun yang lalu, rasanya seperti baru kemarin. Saking berkesannya.
Anak bungsu saya, kini telah berusia 10 tahun lebih. Masa menyusui hingga menyapihnya di usia 3,5 tahun menjadi kenangan tersendiri, yang kerap saya ceritakan kepadanya.
Setiap kali saya ceritakan bagaimana lucunya ia ketika menyusu pada ibu hingga disapih, si bungsu selalu tertawa dan ujungnya berpelukaaaaan dengan ibu. Udah kayak teletubbies aja deh.
Saya kira, akan banyak yang sepakat bahwa ketika menyusui bayi, kita sebagai ibu merasakan beragam rasa.... jatuh cinta....takjub....perih...bahagia...penuh harap...sekaligus khawatir secara bersama-sama.
Menjadi pencapaian yang sangat membanggakan, apabila sebagai ibu kita berhasil menyusui anak-anak kita sampai selesai, dan menyapihnya dengan baik.
Tunainya sebuah kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab adalah pencapaian yang mulia.
Banyak orang bilang, memulai sesuatu itu biasanya sulit, begitu pula mengakhirinya. Dalam hal menyusui, hal itu kurang lebih ada benarnya.
Memulai menyusui bayi secara eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan hingga dua tahun, bagi saya bukan sesuatu yang mudah.
Saya membutuhkan waktu tiga minggu untuk menabung stok ASI sebelum mulai kembali masuk kerja demi meyakinkan bahwa bayi tidak akan kekurangan ASI ketika ditinggal kerja. Setelah freezer kulkas di rumah penuh dengan ASI perah beku, baru saya merasa percaya diri bahwa kelak stoknya cukup.
Dan saya butuh waktu dua minggu untuk mengajari ibu pengganti bagaimana menyiapkan ASI untuk bayi serta meminumkannya.
Di kantor, saya berusaha untuk tetap gembira agar hasil perah ASI tetap lancar. Pulang kerja dengan cooler bag penuh berisi ASI hasil perah adalah cita-cita.
Di kampus demikian pula, pulang kuliah dengan cooler bag penuh berisi ASI hasil perah adalah harapan. Oiya, saat menyusui si bungsu, saya sedang melanjutkan kuliah pascasarjana. Saya memerah ASI baik di kantor maupun di kampus.
Kala itu, saya membeli pompa ASI terbaik pada jamannya. Saya juga belajar memerah dengan tangan (mermet) dari video di Youtube. Di masa itu, ruang laktasi yang layak masih sulit didapatkan bahkan di kantor dan kampus.
Pojokan ruang rapat yang kosong, ruang arsip, dan kolong meja kerja di kantor adalah tempat yang paling sering saya gunakan untuk memerah ASI. Di kampus, biasanya saya memerah ASI di musala.
Cita-cita dan harapan untuk memenuhi keutuhan ASI berusaha saya wujudkan setiap hari, walau dengan tubuh lelah dan rasa remuk redam. Badan serasa habis digebukin setiap harinya. Ha Ha Ha.
Semua lelah hilang jika setelah tiba di rumah bisa merengkuh bayi dan menyusuinya segera. Endorfin menyeruak menerbitkan rasa bahagia. Wah, ngga bisa lupa deh rasanya.
Ya memang mulanya sulit, tetapi ketika bayi telah berhasil ASI eksklusif selama enam bulan, lalu mulai makan makanan pendamping, rasanya semua menjadi lebih mudah.
Melihat bayi tumbuh sehat, saya semakin yakin bahwa apa yang diperjuangkan itu sangat berharga.
Semangat pun terdongkrak. Kedekatan dengan bayi yang telah terjalin menjadi alasan kuat untuk tidak meninggalkannya lama-lama. Semakin lama kita menjadi semakin lekat dengan bayi.
Dan tibalah saatnya bayi kita yang tadinya mungil telah tumbuh menjadi bocah dua tahun yang semakin lucu. Mulailah segala yang mudah tadi menjadi sulit ketika kita akan menyapihnya.
Kalau mau sekedar menyapih, mungkin sangat mudah. Orang tua jaman dulu punya banyak cara, mulai dari mengolesi putting dengan brotowali yang super pahit, kunyit yang berwarna kuning merona, atau obat merah dan plester.
Tetapi menyapih dengan cinta.... weaning with love... tanpa melukai hati anak, tanpa melukai hati ibu, ternyata sama sekali tidak mudah.
Ketika anak saya yang kedua berusia 26 bulan, saya sudah berhenti memerah ASI. Selama ditinggal bekerja di kantor, dede bungsu mulai minum susu UHT. Dan saya mulai berani menerima tugas kantor perjalanan dinas luar kota untuk dua atau tiga hari.
Saya pikir, terpisah selama tiga hari tanpa ditinggali ASI akan membuat dede tersapih dengan sendirinya.
Apalagi saya tidak merasakan bengkak di dada. Mungkin ini sebagai tanda bahwa produksi ASI sudah berhenti. Saya berpikir ini akan menjadi jalan paling alamiah untuk menyapih.
Tetapi alangkah terkejutnya saya, bahwa ketika kembali dari tugas luar kota, dede bungsu yang lucu serta merta lari ke pelukan saya, dan minta menyusu!!
Dan saya takjub bahwa ternyata air susunya pun masih lancar. Walau sudah tidak bisa diperah, tetapi produksi ASI masih berlangsung.
“Adek, emang masih ada susunya?” tanya saya waktu itu melihat dedek dengan tenang menyusu.
“Ada… niih Bu.. susunya,” dedek menjawab sambil menunjukkan susu di mulutnya.
Saya rasanya mau ketawa terbahak-bahak. Ya Allah, saya kira sudah tidak ada susunya!
Dede bungsu akhirnya tersapih ketika usianya 3,5 tahun. Karena saya memulai menyusuinya dengan rasa cinta, maka mengakhirinya pun harus dengan rasa cinta. Tidak mudah, tetapi bisa.
Mulanya ada rasa khawatir, karena di usia anak 3 tahun masih menyusu, saya mulai berpikir apakah anak saya manja?... Apakah ini tidak berdampak buruk baginya?.... Saya mendapat jawabannya dari ajaran agama saya.
Sebagai muslimah, saya percaya bahwa sebagaimana teladan dari Rasul, anak-anak berusia sampai dengan 6 tahun membutuhkan kasih sayang dalam bentuk yang sangat berbeda dengan 7 tahun ke atas.
Konselor AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) ketika memberikan konsultasi seputar breastfeeding bagi ibu bekerja di kantor saya juga memaparkan bahwa sampai dengan 6 tahun adalah hal yang wajar jika anak masih menyusu pada ibunya.
Namun tentunya dengan koridor seperti tidak menyusui di tempat terbuka, anak diajari sopan santun, dan diperkenalkan dengan bentuk kasih sayang serta kenyamanan lain.
Dalam hal menyusui, mungkin saja pergesaran nilai-nilai dalam masyarakat mendorong terbentuknya opini publik bahwa anak-anak yang masih menyusu pada ibunya ketika sudah bisa berjalan dan berbicara adalah hal yang buruk. Anak-anak sekarang seperti dipaksa lebih cepat dewasa.
Pada usia 5 tahun, banyak anak sudah duduk di sekolah dasar, dipaksa belajar berhitung, dan dipaksa lancar menulis serta membaca. Saya tidak tega melihatnya. Mereka masih dalam masa bermain, seharusnya.
Saya percaya bahwa masa kanak-kanak yang manis dan indah akan sangat berpengaruh saat telah dewasa. Saya merasakan sendiri, masa kanak-kanak ketika saya berusia 3 sampai 6 tahun sangat lekat di benak sampai sekarang, dimana sebagian besar waktu ketika itu adalah waktu untuk bermain!
Hal-hal di masa itulah yang saya ingat sampai sekarang.... semisal bacaan sholat yang diajarkan guru mengaji, bagaimana bersikap sopan kepada teman yang diajari ibu saya, berbagi, menolong teman yang susah, tidak boleh bohong karena bohong itu dosa dan tidak disukai Allah, bagaimana sebagai anak perempuan juga harus berani menjawab pertanyaan, jangan malu kecuali bersalah. Semacam itulah....
Dan betapa inginnya saya, saat ini mengisi masa usia emas anak-anak dengan hal-hal baik yang akan mereka ingat sampai dewasa. Termasuk, menyapih mereka dengan cinta. Karena bagaimanapun, menyusu adalah hak mereka. Menyusui adalah kodrat saya juga sebagai perempuan.
Kembali ke soal menyusui dan menyapih, berikut ini sekedar tips alakadar versi saya untuk membuat kita para ibu sukses weaning with love. Boleh dicoba dipraktikkan ya Bunda. Semoga bermanfaat.
1.Ketika akan mulai menyapih anak, lihat kondisi anak. Lihat kesiapan anak, dan jangan terlalu memaksakan diri dengan target menyapih pada usia tertentu. Bagaimanapun, yang natural lebih baik.
Asalkan, tanamkan sopan santun dan etika menyusui kepada anak dengan bahasa tubuh yang sederhana atau bahasa ibu yang dipahami anak. Setiap ibu-anak punya cara tersendiri untuk berkomunikasi dengan bahasa tubuh.
2.Siapkan dan kondisikan masa pre-weaning. Lamanya sangat bergantung pada masing-masing anak dan ibu. Tidak bisa disamaratakan.
Pre-weaning bisa diisi dengan mengurangi frekuensi menyusui secara bertahap, sekaligus mengganti pengurangan frekuensi menyusui dengan bentuk kenyamanan yang lain (belaian di kepala dan bagian tubuh anak yang disukainya, tepuk-tepuk sayang, mulai bermain dengan buku aktivitas, mendongeng, atau permainan interaktif yang lain)
3.Hindari membohongi anak dengan mengusap rasa pahit atau warna menyeramkan pada putting agar anak berhenti menyusu.
Itu akan meninggalkan jejak trauma yang berbahaya baginya ketika dewasa.
Saya pernah membaca ada seorang dokter spesialis anak yang tidak bisa makan apapun yang mengandung kunyit atau berwarna kuning seperti kunyit. Langsung muntah. Dikarenakan traumatik, ketika kecil ibunya menyapihnya dengan cara mengoleskan kunyit ke puting.
4.Jangan merasa sedih atau putus asa jika anak masih terus minta menyusu walau sudah dikondisikan untuk disapih. Anak berusia tiga tahun sudah dapat diajak berkomunikasi secara verbal dengan baik.
Berilah pengertian kepadanya dengan bahasa yang mudah dimengerti, seperti,” Ade sekarang sudah berusia 3 tahun. Nyusu sama bundanya malam saja ya sebelum tidur sembari bunda kelonin, oke?”
5.Kondisikan anak-anak secara natural dalam lingkungan tumbuh kembang yang baik.
Usahakan mereka punya teman-teman sepermainan, punya wahana yang cukup untuk bermain, punya wadah untuk mengembangkan psikomotorik secara berimbang, dan punya waktu yang cukup untuk menyalurkan emosi kepada ayah ibunya.
Anak-anak semakin bertambah usia semestinya semakin beragam aktivitasnya dan semakin luas lingkup pergaulan sosialnya. Teman sepermainan, teman sebaya, dan wadah pergaulan yang tepat dapat membuat anak secara natural berhenti menyusu dan memilih aktivitas baru.
Pada akhirnya, nikmatilah masa menyusui dengan segenap hati, hingga selesai. Syukurilah.... Ketika anak-anak tersapih dengan baik, yakinlah bahwa perkembangan mereka juga akan baik.
Weaning with love adalah pilihan yang terbaik, tanpa paksaan, tanpa merebut hak anak, dan tanpa membuat kita para ibu merasa bersalah berkepanjangan.
Bagi bunda yang sedang mulai menyapih, maupun tertatih-tatih menyapih tetap semangat!!!
**bagi yang kurang berkenan dengan tulisan ini, mohon maaf dan mohon diabaikan saja. Bagi yang berkenan, semoga bermanfaat.
Wah, zaman anak2ku disapih dulu sempat sih dikasih bumbu rempah yang pahit gitu hiks :( Soalnya ngikutin era orangtua dulu kan. Iya sih, jangan begitu ya. Tapi alhamdulillaah anak2ku doyan makan dan bukan picky eater, suka bumbu2an juga. TFS mbak Opi.
BalasHapusWow mantap sampai usia 3,5th mbak. Saya juga sekarang dilema apa anak sy yg disapih sebulan sebelum umurnya 2th sekarang malah suka “menthil” gara2 agak dipaksa pas nyapih ya…hiks
BalasHapusMasya Allah keren banget perjuangan menyusui buah hati ya mba Opi sambil bekerja dan kuliah Alhamdulillah bisa lulus hingga 3.5 tahun terharu deh
BalasHapusmasya allah pengalamannya keren dalam mengasihi. Saya seorang ibu yang tidak pernah menyusui langsung karena suatu hal. Bahagia sekali mendengar kisah bisa menyusui selama 3.5 tahun
BalasHapusSaya hanya membayangkan saja, susahnya jadi ibu....hehehe
BalasHapusBunda salfok sm ilustrasinya bagus banget. Ah aku jdi dapat ilmu baru baca cerita pengalaman Bunda Opi diatas. Keren banget Bun.. Sharing dan cerita yang sangat bermanfaat serta berkesan.
BalasHapus