“Risk Culture” Tidak Merata dalam Organisasi, Bagaimana Mengatasinya?

 


Apa jadinya jika sebuah budaya penting untuk bertransformasi, yaitu budaya sadar risiko di sebuah organisasi ternyata tidak merata? 

Sebuah budaya berkembang dari pola pikir dan perilaku yang dibiasakan terus menerus sehingga terpatri.  Begitu pula budaya risiko.  Kesadaran atas risiko dan pengelolaannya di perusahaan pelat merah seperti BUMN, digadang-gadang sebagai budaya penting yang beberapa tahun terakhir ini semakin dibutuhkan dalam bertransformasi menjadi lebih baik.  

Ketidakselarasan dalam bertransformasi bisa jadi disebabkan salah satunya oleh budaya risiko yang tidak merata. Di satu sisi ada yang sangat berbudaya risiko, di sisi lain ternyata banyak juga yang tidak peduli dan merasa tidak relevan. Dalam melakukan perubahan, berbagai risiko akan dihadapi.  Tanpa budaya risiko yang kuat dan merata, mustahil rasanya transformasi dapat berjalan selaras.

Budaya risiko atau risk culture merupakan cara berpikir dan bertindak organisasi dalam menghadapi risiko.  Ini mencakup keyakinan, nilai, dan sikap kolektif insan perusahaan terkait pengelolaan risiko. 

Budaya risiko yang sehat dalam sebuah perusahaan akan menciptakan lingkungan yang membuat seluruh individu (mulai dari level manajemen hingga operasional) memahami risiko dan tanggung jawab mereka dalam mengelolanya. 

Menciptakan budaya risiko yang kuat tentunya tidak sesederhana membalikkan telapak tangan, melainkan memerlukan pendekatan berlapis, dengan dukungan dari seluruh tingkatan organisasi perusahaan.  Jika semua insan perusahaan memiliki kesadaran risiko yang baik (merata), mereka akan lebih mampu menghadapi tantangan dan perubahan dengan lebih bijaksana. Sebaliknya, jika budaya risiko rendah atau tidak merata, maka bisa diduga akan terjadi ketidakselarasan dalam bertransformasi.

Bagaimana budaya risiko yang kuat bisa terbentuk ?  Keempat poin berikut ini perlu diperhatikan terlebih dahulu: 

1. Komitmen dari Para Pemimpin Organisasi
2. Komunikasi yang Efektif 
3. Kesadaran Awal Karyawan dan Pendidikan serta Pelatihan tentang Risiko 
4. Penghargaan dan Akuntabilitas  

Mari kita telaah satu persatu ya: 

1. Komitmen dari Para Pemimpin Organisasi

Pimpinan organisasi selayaknya berkomitmen kuat dan memberikan contoh dalam mendukung manajemen risiko. Komitmen ini terlihat dari pengambilan keputusan yang memperhitungkan risiko dan mendukung mekanisme pengelolaannya.  Ini berlaku bagi seluruh level pemimpin mulai dari  Direktur hingga pemimpin unit-unit kerja dan pemimpin tim terkecil baik di kantor pusat maupun kantor cabang.  

2. Komunikasi yang Efektif 

Informasi tentang risiko harus disampaikan dengan jelas, baik ke atas maupun ke bawah, di seluruh lapisan organisasi. Komunikasi ini mencakup risiko yang potensial, tindakan yang diambil, dan peran individu dalam mitigasinya. Komunikasi antara kantor pusat dan kantor cabang hingga ke gudang terpencil juga wajib dipastikan berjalan dengan efektif.  Sederhananya garis komunikasi ke atas, ke bawah, dan ke samping harus lancar. 

3. Kesadaran Awal Karyawan dan Pendidikan serta Pelatihan tentang Risiko 

Seluruh karyawan harus memiliki pemahaman dasar mengenai risiko yang relevan dengan pekerjaan mereka. Pemahaman dasar ini didapat dari pelatihan dan pendidikan Manajemen Risiko sesuai dengan levelnya.  Pelatihan yang diberikan secara periodik akan membantu meningkatkan kesadaran ini. Selain pelatihan dari perusahaan, karyawan dapat belajar mandiri yang difasilitasi oleh perusahaan melalui Learning Management System (LMS) di masing-masing perusahaan.  

4. Penghargaan dan Akuntabilitas  

Organisasi harus mendorong perilaku proaktif dalam mengelola risiko dan memberikan penghargaan untuk inisiatif yang positif. Sebaliknya, harus ada mekanisme akuntabilitas untuk tindakan yang menambah risiko tanpa pertimbangan yang tepat. Hal ini membuat insan perusahaan menjadi termotivasi untuk berbudaya risiko. 

Penyebab Budaya Risiko Tidak Merata 


Tidak meratanya budaya sadar risiko di sebuah organisasi, terutama jika terjadi perbedaan antara kantor pusat dan cabang, bisa disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

1. Perbedaan Kepemimpinan dan Komitmen Manajerial
Kepemimpinan yang kuat di pusat bisa menanamkan budaya risiko dengan lebih efektif, namun bisa saja terjadi di kantor cabang, manajer atau pemimpin lokal mungkin kurang menunjukkan komitmen yang sama. Komitmen manajerial sangat penting dalam mendorong kesadaran risiko di semua level. Jika di cabang pemimpin tidak mencontohkan perilaku yang baik dalam manajemen risiko, karyawan lokal akan cenderung mengabaikannya.

2. Komunikasi yang Kurang atau Tidak Efektif
Budaya risiko perlu ditanamkan melalui komunikasi yang konsisten dan efektif. Jika komunikasi antara kantor pusat dan cabang tidak lancar, misalnya terkait kebijakan risiko, pelaporan insiden, atau mekanisme pengendalian risiko, maka kesadaran di cabang bisa lebih rendah. Komunikasi yang lambat atau tidak sampai ke tingkat operasional di cabang dapat menyebabkan mereka merasa manajemen risiko tidak relevan dengan tugas sehari-hari di kantor cabang.  

3. Perbedaan Pemahaman tentang Risiko
Cabang dan pusat mungkin menghadapi risiko yang berbeda. Misalnya, kantor pusat mungkin lebih fokus pada risiko strategis atau keuangan, sedangkan kantor cabang lebih banyak berhadapan dengan risiko operasional. Jika kantor cabang merasa risiko yang mereka hadapi tidak sepenuhnya dipahami oleh pusat, mereka bisa merasa bahwa manajemen risiko yang diterapkan tidak relevan dengan kebutuhan mereka, yang berakibat pada kurangnya penerapan budaya risiko yang merata. 

4. Kesenjangan Pendidikan dan Pelatihan Kantor Pusat dan Cabang
Biasanya, kantor pusat memiliki akses lebih baik terhadap pelatihan dan sumber daya terkait manajemen risiko. Sebaliknya, personil di kantor cabang mungkin tidak mendapatkan pelatihan yang sama intensifnya. Kesenjangan ini menyebabkan tidak meratanya kesempatan untuk memahami dan mempelajari manajemen risiko.  Kesenjangan ini bisa menyebabkan perbedaan dalam kesadaran risiko di berbagai bagian organisasi. Jika karyawan di cabang tidak dilengkapi dengan keterampilan yang sama, mereka akan kurang memahami pentingnya manajemen risiko.

5. Perbedaan Konteks Operasional
Konteks operasional antara kantor pusat dan cabang bisa berbeda secara signifikan. Di cabang, mungkin ada lebih banyak tekanan untuk memenuhi target operasional atau penjualan, sehingga perhatian pada risiko menjadi kurang prioritas dibandingkan di pusat. Sebaliknya, di kantor pusat, risiko strategis dan reputasi mungkin lebih ditekankan sehingga kesadaran lebih tinggi.  

6. Budaya Lokal dan Persepsi Risiko yang Berbeda
Kantor cabang di daerah yang berbeda bisa dipengaruhi oleh budaya lokal yang memengaruhi cara pandang mereka terhadap risiko. Dalam beberapa budaya, risiko mungkin dianggap sebagai hal yang bisa dihindari, sementara di tempat lain, risiko bisa dilihat sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari yang tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Persepsi dan penerimaan risiko yang berbeda ini bisa menyebabkan ketidakseragaman dalam penerapan budaya risiko.

7. Kurangnya Monitoring dan Evaluasi dari Pusat
Jika kantor pusat tidak melakukan pengawasan atau audit risiko secara rutin ke kantor cabang, ini dapat menyebabkan kurangnya akuntabilitas di tingkat cabang. Tanpa pengawasan yang jelas, kantor cabang mungkin merasa bahwa manajemen risiko bukan prioritas utama, yang mengakibatkan rendahnya kesadaran di sana.  

8. Fokus pada Target atau KPI yang Berbeda
Jika kantor pusat dan cabang memiliki target atau KPI (Key Performance Indicator) yang berbeda, bisa jadi fokus pada manajemen risiko diabaikan. Misalnya, jika kantor cabang lebih terfokus pada pencapaian target penjualan atau operasional jangka pendek, mereka mungkin mengabaikan risiko yang ada untuk memenuhi KPI tersebut.

9. Budaya Perusahaan yang Belum Seragam
Kadang kala, meskipun perusahaan memiliki kebijakan resmi tentang risiko, budaya kerja yang sebenarnya berbeda-beda di berbagai lokasi. Budaya yang dibangun di pusat mungkin berbeda dari yang berkembang di cabang karena pengaruh lokal, tekanan bisnis, atau preferensi manajer setempat. Jika pusat tidak berusaha menyelaraskan budaya ini, cabang akan membentuk pola perilaku yang berbeda.

10. Sumber Daya yang Terbatas di Cabang
Kantor cabang sering kali tidak memiliki sumber daya manusia, teknologi, atau waktu yang sama untuk memprioritaskan manajemen risiko seperti di kantor pusat. Hal ini bisa membuat cabang lebih fokus pada operasional harian dibandingkan dengan risiko jangka panjang. Tanpa sumber daya yang memadai, sulit untuk membangun kesadaran risiko yang tinggi di seluruh organisasi.

Dengan melihat elaborasi dari penyebab budaya risiko tidak merata tersebut, beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah :

1. Meningkatkan dan memperbaiki komunikasi dua arah antara kantor pusat dan cabang hingga gudang terpencil mengenai risiko yang relevan dengan masing-masing levelnya.

2. Menyusun dan melaksanakan Standardisasi Diklat Manajemen Risiko untuk memastikan seluruh karyawan, baik di kantor pusat maupun di kantor cabang dan gudang, memiliki pemahaman yang sama tentang risiko.  

3. Site visit secara periodik dan audit dari pusat ke cabang untuk memantau kepatuhan terhadap kebijakan manajemen risiko.

4. Menyesuaikan kebijakan risiko berdasarkan konteks lokal yang dihadapi oleh cabang, sehingga mereka merasa manajemen risiko relevan dengan operasi mereka.

Organisasi dapat mendorong budaya risiko yang lebih merata di seluruh unit bisnis, baik di pusat maupun di cabang, melalui pendekatan yang konsisten dan adaptif. Kesenjangan yang makin tipis antara kantor pusat dan daerah dalam hal budaya risiko patut diupayakan terus.  Semakin merata budaya risiko dalam organisasi, akan semakin mantap langkah ke depannya dalam menghadapi perubahan.  Anda setuju? (Opi) 


Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel ini. Silakan tinggalkan jejak di komentar dengan bahasa yang sopan. Mohon tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih.